JAKARTA — Sektor pertambangan merupakan salah satu mesin politik utama kepala daerah. Sektor ini digunakan sebagai sarana untuk memperoleh massa dan dukungan saat mencalonkan diri menjadi kepala daerah.
Jaringan Advokasi Tambang mencatat, setidaknya dalam enam tahun terakhir (2004 – 2010), banyak kepala daerah yang menyalahgunakan kewenangannya dalam sektor tambang ini.
“Sektor tambang menjadi mesin uang politik, sangat kental sejak 2004 hingga sekarang. Tahun 2004, ada keputusan pemerintah yang mengizinkan kawasan lindung untuk dibuka sebagai pertambangan. Padahal undang-undang kehutanan sangat jelas melarang,” kata Koordinator Jaringan Advokasi Tambang, Andre S Wijaya, dalam diskusi ‘Premanisme Politik di Jagat Nasional’ di Gedung DPR, Jumat (24/2).
Pada 2008, lanjut dia, pihaknya juga mencatat ada kebijakan yang salah kaprah. Yakni kebijakan yang mengatur mengenai sewa kawasan hutan untuk pertambangan. Dengan biaya sewa sebesar Rp300 per meter persegi, para pengusaha kemudian berbondong-bondong menyewa lahan tersebut. Hal yang disebutnya sebagai ironi, karena pemerintah justru memfasilitasi pengerukan sumber daya alam (SDA).
“Tahun 2010, aksi kekerasan terjadi karena masyarakat merasa tidak dilindungi, di Mesuji dan Sape, Bima,” tutur Andre.
Modus yang berkembang sejak era 2004 hingga 2010-an, tambah dia, kemudahan sektor pertambangan oleh pemerintah dijadikan mesin politik. Sebab, mereka mendapatkan pemasukan/benefit yang luar biasa besar.
Jaringan Advokasi Tambang mencatat persoalan perizinan biasanya dikeluarkan tidak jauh dari penyelenggaraan pemilukada. “Izin biasanya dikeluarkan berdekatan dengan penyelenggaraan pemilukada. Sulit juga ini masuk dalam kategori gratifikasi, korupsi atau penyalaghunaan wewenang,” tuturnya.
Modus lainnya, kepala daerah mempermudah perizinan dengan melakukan gertak sambal. Andre mencontohkan, seorang kepala daerah di Kalimantan Timur yang memiliki 1400-an perusahaan tambang, suatu waktu menggertak akan melakukan penertiban. Padahal, arahnya sangat jelas, ada pesan yang hendak disampaikan kepada perusahaan tambang, agar mereka memberikan dukungan kepada kepala daerah.
“Gertak sambal atau sandiwara melalui penegakan aturan. Untuk pencitraan gubernurnya akan menertibkan izin usaha. Padahal itu sebenarnya ada pesan khusus dibalik penertiban itu. Yakni sumbangan langsung dari perusahaan yang saya sebut sebagai sedekah,” tutur Andre.
Written by Chairul Abshar